PENGERTIAN GERHANA
Dalam istilah
fuqaha dinamakan
kusûf. Yaitu
hilangnya cahaya matahari atau bulan atau hilang sebagiannya, dan
perubahan cahaya yang mengarah ke warna hitam atau gelap. Kalimat
khusûf semakna dengan
kusûf. Ada pula yang mengatakan
kusûf
adalah gerhana matahari, sedangkan khusûf adalah gerhana bulan.
Pemilahan ini lebih masyhur menurut bahasa. [1] Jadi, shalat gerhana,
ialah shalat yang dikerjakan dengan tata cara dan gerakan tertentu,
ketika hilang cahaya matahari atau bulan atau hilang sebagiannya.
HUKUM SHALAT GERHANA
Jumhur ulama’ berpendapat, shalat gerhana hukumnya
sunnah muakkadah. Abu ‘Awanah
Rahimahullah menegaskan wajibnya shalat gerhana matahari. Demikian pula riwayat dari Abu Hanifah
Rahimahullah,
beliau memiliki pendapat yang sama. Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwa
beliau menempatkannya seperti shalat Jum’at. Demikian pula Ibnu Qudamah
Rahimahullah berpendapat, bahwa shalat gerhana hukumnya
sunnah muakkadah. [2]
Adapun yang lebih kuat, ialah pendapat yang mengatakan wajib, berdasarkan perintah yang datang dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Imam asy-Syaukani juga menguatkan pendapat ini. Demikian pula Shiddiq Hasan Khân
Rahimahullah dan Syaikh al-Albâni
Rahimahullah. [3] Dan Syaikh Muhammad bin Shâlih ‘Utsaimin
Rahimahullah berkata: “Sebagian ulama berpendapat, shalat gerhana wajib hukumnya, berdasarkan sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (jika kalian melihat, maka shalatlah—muttafaqun ‘alaih).
Sesungguhnya, gerhana merupakan peristiwa yang menakutkan. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
berkhutbah dengan khutbah yang agung, menjelaskan tentang surga dan
neraka. Semua itu menjadi satu alasan kuat wajibnya perkara ini,
kalaupun kita katakan hukumnya sunnah tatkala kita melihat banyak orang
yang meninggalkannya, sementara Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
sangat menekankan tentang kejadian ini, kemudian tidak ada dosa sama
sekali tatkala orang lain mulai berani meninggalkannya. Maka, pendapat
ini perlu ditilik ulang, bagaimana bisa dikatakan sesuatu yang
menakutkan kemudian dengan sengaja kita meninggalkannya? Bahkan seolah
hanya kejadian biasa saja? Dimanakah rasa takut?
Dengan demikian, pendapat yang mengatakan wajib, memiliki argumen
sangat kuat. Sehingga jika ada manusia yang melihat gerhana matahari
atau bulan, lalu tidak peduli sama sekali, masing-masing sibuk dengan
dagangannya, masing-masing sibuk dengan hal sia-sia, sibuk di ladang;
semua itu dikhawatirkan menjadi sebab turunnya adzab Allah, yang kita
diperintahkan untuk mewaspdainya. Maka pendapat yang mengatakan wajib
memiliki argumen lebih kuat daripada yang mengatakan sunnah. [4]
Dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin pun menyatakan, “Jika kita mengatakan
hukumnya wajib, maka yang nampak wajibnya adalah wajib kifayah.”
Adapun shalat gerhana bulan, terdapat dua pendapat yang berbeda dari kalangan ulama.
Pendapat pertama.
Sunnah muakkadah,
dan dilakukan secara berjama’ah seperti halnya shalat gerhana matahari.
Demikian ini pendapat Imam asy- Syâfi’i, Ahmad, Dawud Ibnu Hazm. Dan
pendapat senada juga datang dari ‘Atha, Hasan, an-Nakha`i, Ishâq dan
riwayat dari Ibnu ‘Abbas
Radhiallahu’anhu. [5] Dalil mereka:
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah bukti tanda-tanda
kekuasaan Allah. Sesungguhnya, keduanya tidak mengalami gerhana karena
kematian seseorang, dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Oleh
karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah dan
shalatlah sampai terang kembali.” (Muttafqun ‘alaihi).
Pendapat kedua.
Tidak dilakukan secara berjama’ah. Demikian ini pendapat Imam Abu
Hanifah dan Mâlik. [6] Dalilnya, bahwa pada umumnya, pelaksanaan shalat
gerhana bulan pada malam hari lebih berat dari pada pelaksanaannya saat
siang hari. Sementara itu belum ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menunaikannya secara berjama’ah, padahal kejadian gerhana bulan lebih sering dari pada kejadian gerhana matahari.
Manakah pendapat yang kuat? Dalam hal ini, ialah pendapat pertama, karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
memerintahkan kepada umatnya untuk menunaikan keduanya tanpa ada
pengecualian antara yang satu dengan lainnya (gerhana matahari dan
bulan). [7]
Sebagaimana di dalam hadits disebutkan,
“Maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam keluar menuju masjid, kemudian beliau
berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam shaf di
belakangya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Ibnu Qudamah
Rahimahullah juga berkata, “Sunnah yang
diajarkan, ialah menunaikan shalat gerhana berjama’ah di masjid
sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
walaupun boleh juga dilakukan sendiri-sendiri,namun pelaksanaannya
dengan berjama’ah lebih afdhal (lebih baik). Karena yang dilakukan oleh
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ialah dengan berjama’ah. Sehingga,
dengan demikian, sunnah yang telah diajarkan ialah menunaikannya di
masjid.” [8]
WAKTU SHALAT GERHANA
Shalat dimulai dari awal gerhana matahari atau bulan sampai gerhana tersebut berakhir. Berdasarkan sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
“Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai kembali terang.” (Muttafaqun ‘alaihi).
KAPAN GERHANA DIANGGAP USAI?
Shalat gerhana matahari tidak ditunaikan jika telah muncul dua
perkara, yaitu (1) terang seperti sediakala, dan (2) gerhana terjadi
tatkala matahari terbenam. Demikian pula halnya dengan shalat gerhana
bulan, tidak ditunaikan jika telah muncul dua perkara, yaitu (1) terang
seperti sediakala, dan (2) saat terbit matahari. [9]
AMALAN YANG DIKERJAKAN KETIKA TERJADI GERHANA
- Memperbanyak dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan amal shalih. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,“Oleh
karena itu, bila kaliannya melihat, maka berdoalah kepada Allah,
bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah.” (Muttafaqun ‘alaihi)
- Keluar menuju masjid untuk menunaikan shalat gerhana berjama’ah,
sebagaimana disebutkan dalam hadits,“Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam keluar menuju masjid, kemudian beliau berdiri, selanjutnya
bertakbir dan sahabat berdiri dalam shaf di belakangnya.” (Muttafaqun
‘alaihi)
- Wanita keluar untuk ikut serta menunaikan shalat gerhana, sebagaimana dalam hadits Asma’ binti Abu Bakr Radhiallahu’anhuma berkata,“Aku
mendatangi ‘Aisyah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tatkala
terjadi gerhana matahari. Aku melihat orang-orang berdiri menunaikan
shalat, demikian pula ‘Aisyah aku melihatnya shalat.” (Muttafaqun
‘alaihi)Jika dikhawatirkan akan terjadi fitnah, maka hendaknya para
wanita mengerjakan shalat gerhana ini sendiri-sendiri di rumah mereka
berdasarkan keumuman perintah mengerjakan shalat gerhana.
- Shalat gerhana (matahari dan bulan) tanpa adzan dan iqamah, akan
tetapi diseru untuk shalat pada malam dan siang dengan ucapan
“ash-shalâtu jâmi’ah” (shalat akan didirikan), sebagaimana disebutkan
dalam hadits Abdullah bin ‘Amr Radhiallahu’anhuma, ia berkata: Ketika terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam diserukan “ash-shalatu jâmi’ah” (sesungguhnya shalat akan didirikan). (HR Bukhâri)
- Khutbah setelah shalat, sebagaimana disebutkan dalam hadits, ‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata: Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, tatkala selesai shalat, dia berdiri menghadap manusia lalu berkhutbah. (HR Bukhâri)
TATA CARA SHALAT GERHANA
Tidak ada perbedaan di kalangan ulama, bahwa shalat gerhana dua
raka’at. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam hal tata cara
pelaksanaannya. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat yang berbeda.
Pendapat pertama.
Imam Mâlik, Syâfi’i, dan Ahmad, mereka berpendapat bahwa shalat gerhana
ialah dua raka’at. Pada setiap raka’at ada dua kali berdiri, dua kali
membaca, dua ruku’ dan dua sujud. Pendapat ini berdasarkan beberapa
hadits, di antaranya hadits Ibnu ‘Abbas
Radhiallahu’anhu, ia berkata,
“Telah
terjadi gerhana matahari pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ,
maka beliau shalat dan orang-orang ikut shalat bersamanya. Beliau
berdiri sangat lama (seperti) membaca surat al-Baqarah, kemudian ruku’
dan sangat lama ruku’nya, lalu berdiri, lama sekali berdirinya namun
berdiri yang kedua lebih pendek dari berdiri yang pertama, kemudian
ruku’, lama sekali ruku’nya namun ruku’ kedua lebih pendek dari ruku’
pertama.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Hadits kedua, dari ‘Aisyah
Radhiallahu’anha, ia berkata,
“Bahwasanya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah melaksanakan shalat
ketika terjadi gerhana matahari. Rasulullah berdiri kemudian bertakbir
kemudian membaca, panjang sekali bacaannya, kemudian ruku’ dan panjang
sekali ruku’nya, kemudian mengangkat kepalanya (i’tidal) seraya
mengucapkan: “Sami’allahu liman hamidah,” kemudian berdiri sebagaimana
berdiri yang pertama, kemudian membaca, panjang sekali bacaannya namun
bacaan yang kedua lebih pendek dari bacaan yang pertama, kemudian ruku’
dan panjang sekali ruku’nya, namun lebih pendek dari ruku’ yang pertama,
kemudian sujud, panjang sekali sujudnya, kemudian dia berbuat pada
raka’at yang kedua sebagimana yang dilakukan pada raka’at pertama,
kemudian salam…” (Muttafaqun ‘alaihi).
Pendapat kedua. Abu
Hanifah berpendapat bahwa shalat gerhana ialah dua raka’at, dan setiap
raka’at satu kali berdiri, satu ruku dan dua sujud seperti halnya shalat
sunnah lainnya. Dalil yang disebutkan Abu Hanifah dan yang senada
dengannya, ialah hadits Abu Bakrah, ia berkata:
“Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , maka Rasulullah keluar dari rumahnya
seraya menyeret selendangnya sampai akhirnya tiba di masjid. Orang-orang
pun ikut melakukan apa yang dilakukannya, kemudian Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam shalat bersama mereka dua raka’at.” (HR Bukhâri, an-Nasâ‘i)
Dari pendapat di atas, pendapat yang kuat ialah pendapat pertama
(jumhur ulama’), berdasarkan beberapa hadits shahih yang menjelaskan hal
itu. Karena pendapat Abu Hanifah
Rahimahullah dan orang-orang
yang sependapat dengannya, riwayat yang mereka sebutkan bersifat mutlak
(umum), sedangkan riwayat yang dijadikan dalil oleh jumhur (mayoritas)
ulama adalah muqayyad. [10]
Syaikh al-Albâni
Rahimahullah berkata, [11] “Ringkas kata,
dalam masalah cara shalat gerhana yang benar ialah dua raka’at, yang
pada setiap raka’at terdapat dua ruku’, sebagaimana diriwayatkan oleh
sekelompok sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan riwayat yang shahih”.
Wallahu a’lam.
Ringkasan tata cara shalat gerhana sebagai berikut.
- Bertakbir, membaca doa iftitah, ta’awudz, membaca surat al-Fâtihah, dan membaca surat panjang, seperti al-Baqarah.
- Ruku’ dengan ruku’ yang panjang.
- Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan: sami’allhu liman hamidah.
- Tidak sujud (setelah bangkit dari ruku’), akan tetapi membaca surat al-Fatihah dan surat yang lebih ringan dari yang pertama.
- Kemudian ruku’ lagi dengan ruku’ yang panjang, hanya saja lebih ringan dari ruku’ yang pertama.
- Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan: sami’allahu liman hamidah.
- Kemudian sujud, lalu duduk antara dua sujud, lalu sujud lagi.
- Kemudian berdiri ke raka’at kedua, dan selanjutnya melakukan seperti yang dilakukan pada raka’at pertama.
sumber:http://www.eramuslim.co/shalat/adi-nurcahyo-tatacara-shalat-gerhana.htm#.VuGPqvvQuJw